Jumat, 31 Desember 2010

Duka di Penghujung Tahun 2010

Hari ini 31 Desember, hari terakhir di tahun 2010.
Semua orang bersuka cita merayakannya, sudut-sudut kota yang biasanya sepi kini ramai dengan masyarakat yang ingin berpesta atau sekedar melihat kembang api dan meniup terompet bersama keluarga. Tapi aku memilih berdiam diri di kamar, seperti tahun-tahun sebelumnya. Menonton tv sambil menunggu pergantian hari. Dua tahun lalu aq menonton Harry Potter, tahun berikutnya Spiderman 3, dan tahun ini stasiun TV yang sama menayangkan Pirate and The Carrebian 3. hanya saja sepertinya aku urung menontonnya.

Malam ini, aku sejenak ingin mengenang tahun 2010. Tahun yang cukup berat ku jalani, khususnya di bulan desember, bulan terakhir di tahun ini.

Bagaimana tidak, karna pada bulan inilah aku kehilangan salah satu sosok yang cukup berperan penting dalam perjalanan hidupku, beliau adalah Bapak H. Munasri Hadi Saputro, eyang kakungku.Tepatnya pada tanggal 5 Desember sekitar pukul 3.50 WIB eyang kakung menghembuskan nafas terakhirnya. Beliau meninggal di Tuban, pada sebuah kecelakaan mobil.
Ya, kecelakaan mobil.

Semua orang pasti mengira kepergian eyang kakung adalah dikarenakan sakit yang ia derita, seperti yang telah aku ceritakan sebelumnya. Tapi ternyata Allah mengambilnya dengan cara yang berbeda.

Rasanya sama sekali seperti mimpi, seperti menonton sinetron di televisi, ketika kami mendengar kabar kecelakaan itu, kami langsung menyusul ke TKP, tapi bahkan belum sampai keluar dari Kudus, kami mendapat kabar bahwa eyang kakung telah tiada.

Lemas luruh seluruh jiwa dan ragaku mendengarnya. Rasanya benar-benar ingin marah dan teriak sekencang-kencangnya, mengapa dengan cara ini Allah memanggil beliau. Saat memandang jenazah beliau yang telah beku dalam balutan kain kafan, rasanya ingin sekali membangunkan beliau. Membangunkannya dari tidur yang sangat lelap. Tapi tak ada nafas dan dengkur berirama disana, alih-alih membuka mata. Eyang masih saja diam dan beku.

Satu hari, satu minggu, dua minggu, hampir satu bulan berlalu sejak kepergian eyang kakung. Rasanya masih seperti mimpi, rasanya masih tidak percaya bahwa eyang kakung kini telah tiada. Dalam sebagian pikiranku masih terpatri bahwa eyang kakung masih ada di rumah, menonton tv seperti biasanya, dan ketika aku pulang nanti, aku akan dengan mudah menemuinya di ruang tengah. Memeluknya, sambil bertanya : "eyang sehat?" atau jika tidak kutemukan beliau disana, maka pasti eyang kakung sedang tidur di kamarnya.

Tapi beliau tidak ada disana, dan tak kan pernah lagi ada disana. Aku harus bisa menerima kenyataan bahwa tak ada lagi suara dan nasehat beliau, tak ada lagi pelukan hangat beliau, meski rasanya masih teringat dengan jelas raut wajah eyang kakung yang menangis sedih ketika memelukku, saat mengantarku kembali ke kos. dan ternyata pelukan itu adalah pelukan terakhir, persis di dalam mobil, kursi dan posisi yang sama ketika kecelakaan itu terjadi.

Aku akan sangat merindukan eyang kakung.

Rasanya tak habis-habis airmata ini tertumpah setiap mengenang beliau. Bagi orang lain mungkin aku terlalu berlebihan, tapi seandainya mereka tahu bagaimanakah sesosok eyang kakung bagi kami, mungkin mereka akan berpikir lain.

Eyang kakung adalah sosok yang sabar dan bersemangat. Beliau suka olahraga. Bagaimana tidak, beliau adalah guru olahraga. Bahkan dalam usia kepala 5 pun beliau masih sering di minta untuk menjadi pembawa acara pertandingan sepakbola Persiku di GOR Kudus. Beliau adalah suami, ayah, mertua dan kakek yang sangat sayang kepada keluarga. Sering ketika beliau mendapat sedikit rejeki tambahan, kami para cucu-cucunya diajak pergi jajan di luar. Apakah sekedar lentog tanjung, lontong tahu, soto, es dawet dan lain-lain. Eyang ibu pun sering bercerita, meskipun hidup berkekurangan eyang kakung selalu berusaha agar anak-anaknya bisa sekolah tinggi, memakain seragam yang pantas, tidak boleh kusam sedikitpun, meskipun harus berhutang kesana-kesini.

Beliau sering mengajakku dan kakakku pergi kemana-mana. Meskipun sekedar berkeliling desa dengan sepeda atau dengan vespa kebanggaanya. Eyang bukan orang yang neko-neko, beliau adalah orang yang sederhana, ramah, dan jarang sekali marah. Beliau sering bercerita, tentang masa mudanya, tentang pengalamannya, tentang anak-anaknya, segala hal yang bisa kujadikan pelajaran di hidupku. Beliau selalu mengingatkanku untuk tidak mencontoh dirinya, namun contohlah orang lain yang lebih baik untuk dijadikan panutan. Padahal beliaulah yang turut andil memberiku banyak pelajaran di hidup ini.

Eyang kakung is a family oriented person. Sampai di ujung usianya pun beliau masih melindungi keluarganya. Seandainya saja saat itu bukan eyang kakung yang duduk di depan, bisa saja tante atau eyang ibu atau siapa yang pergi. Tapi eyang kakung lah yang ada di posisi itu, duduk disana dengan pasrah tanpa punya daya untuk menahan hantaman di kepalanya karna penyakitnya yang melumpuhkan sebagaian otaknya. Dan eyang kakunglah yang pergi, selamanya, ke alam dan dimensi lain. Kami tidak menyalahkan siapa-siapa, karena ini bukan salah siapa-siapa. Ini adalah suratan, ini adalah Takdir Tuhan. Kami menerimanya dengan lapang dada.

Meski berat, meski sedih, tapi inilah kenyataan. Namun, meski raganya telah hilang ditelan bumi, tapi bagi kami, eyang kakung akan selalu ada dan bersemayam di hati. Dan cinta kami kepada beliau tidak akan pernah habis terhapus oleh waktu.
Selalu dan untuk selamanya.
We Will Always Love You Grand Pa...

your grand daughter
"Fa"