Kamis, 03 Februari 2011

Sudahkah Saya Menjadi Anak yang Sholeh?



Sebelumnya saya ingin menambahkan bahwa saya tidak menggurui kepada siapapun yang membaca tulisan ini. Saya juga bukan tauladan yang baik untuk anda semua. Saya hanya ingin membagi perasaan dan pemikiran saya.

Saya sayang dengan orang tua dan keluarga saya. Bagaimanapun merekalah yang melahirkan saya, membesarkan saya, membimbing saya, dan mencukupi segala kebutuhan saya dari materi hingga kasih sayang yang tidak henti-henti. Bagi saya, keluarga adalah segala-galanya. Bukan hanya orang tua, tapi kakek-nenek, om tante, sepupu, semua turut andil dalam membentuk karakter saya saat ini. Dari mereka saya belajar banyak, dan saya pun mendapat kasih sayang yang sangat berlimpah.

Sampai akhirnya sesuatu yang "sudah seharusnya", terjadi dalam hidup saya. Eyang kakung saya tercinta dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Rasanya seluruh dunia saya berhenti seketika. Hampir tidak percaya, dan benar-benar panik. Karena rasanya belum banyak hal yang dapat saya lakukan untuk membahagiakan beliau, membuat beliau bangga pada saya. Tapi rasanya sudah tidak mungkin, hingga saya teringat pada hadits Rasul.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang selalu mendoakannya.”
(Hadits shahih riwayat Muslim).

Saya bukanlah ahli agama. Bisa dibilang pengetahuan dan pendalaman saya tentang agama masih sangat sedikit. Ketika saya membaca hadits tersebut, yang ada dalam pikiran saya adalah : Anak sholeh kah saya?

Saya tahu, urusan dosa dan pahala adalah diatur oleh Allah swt. Oleh sebab itu, saya jadi berfikir, sudah cukup soleh kan saya, sehingga dapat menyambung amal bagi orang tua saya nanti? sudah cukup soleh kah saya untuk membantu orang tua saya di akhirat nanti? Bagaimana jika saya tidak cukup soleh untuk itu?Bagaimana jika saya justru menjerumuskan mereka ke dalam siksa akhirat, hanya karena saya tidak mau menjadi anak baik-baik yang sholehah?

Sedih rasanya jika berfikir demikian. :( Tapi kita sebagai manusia hanya bisa berusaha. Karena kita tidak tahu, apakah selama ini amal baik yang kita tabung sudahkah cukup atau belum. Kita tidak tahu, apakah ibadah kita selama ini diterima atau tidak. Apakah ibadah anda dan saya sudah baik? Wallahualam...

Wallahualam... Hanya Tuhan yang tahu,,, hanya Tuhan yang bisa menilai kualitas ibadah kita,, hanya Tuhan yang berhak membeda-bedakan kita sesuai tingkatan amal perbuatan kita.

Ketika kita mensejajarkan dua orang yang berbeda, satu orang yang baik, ramah, disukai banyak kawan. Kemudian dengan orang lain yang tidak banyak kawan, judes, dan sebagainya. Sebagai seorang manusia kita pasti akan lebih memilih orang yang pertama. Tapi bagaimana jika, orang kedua, yang tidak kita sukai tersebut, ternyata lebih tinggi derajatnya di mata Allah dibanding dengan orang yang pertama? atau bahkan dengan kita? bagaimana jika kita, di mata Allah, tidak lebih baik dari orang yang tidak kita sukai tersebut? Saya sering merasa miris sendiri jika berfikir demikian. Bukankah ironi sekali? Bukankah seharusnya kita malu pada Allah? Seharusnya saya malu pada Allah, karena sering bersikap demikian pula. :(

Tapi lagi-lagi, semua ini kembali ke diri kita, lalu baru bergerak vertikal lurus ke Allah. Kita hanya bisa berusaha, segalanya Allah yang menentukan. Namun jangan pesimis, karena Allah pasti akan menunjukkan jalan bagi umatNya yang mau berusaha. Allah juga tidak akan membiarkan hambaNya yang sudah berusaha, tersesat di jalan yang salah. Mari kita sama-sama berusaha untuk menjadi paling baik di mata Allah swt. Saya juga tidak pesismis, saya akan terus berusaha menjadi anak sholehah. Mari kita berusaha untuk menjadi anak sholeh bagi kedua orang tua kita. Lalu jangan lupa, doakan mereka agar tidak terputus amalnya. :)

“ROBBIGHFIRLII WALIWAALIDAYYA WARHAMHUMAA KAMAA ROBBAYAANII SHOGHIIROO”

Selasa, 01 Februari 2011

Tentukan Cita-Citamu

Hari ini adalah hari pertama saya melaksanakan PKL atau Praktek Kerja Lapangan. Pagi tadi ketika berangkat, saya sempat berbincang-bincang dengan teman saya, Averus Rizki Alfian atau biasa di sapa vero. Pembicaraan sederhana saja sebenarnya, sambil bercanda seperti biasa. Namun inti dari pembicaraan itu sangat dalam jika mau kita kaji.

di atas motor
Vero : "wah,, kita mau berangkat kerja. hahaha"
Saya : "hahaha.. cuma PKL ini"
Vero : "nggak kerasa ya sebentar lagi udah mau lulus terus kerja"
Saya : "iya nich, udah semester 6 aja kitanya."
Vero : "padahal tingkah polahnya kita masih kayak anak kecil semua ya? hahahaha"
Saya : "hhaa.. iyaa,, padahal udah kepala dua ya..."

Saya malah jadi kaget sendiri dengan kata-kata saya. Saya baru ingat kalau saya sudah menginjak usia 20 tahun. Well, saya akui saya memang masih suka lupa jika saya ini sudah berkepala dua. Selain karena faktor masih suka bermain-main, juga mungkin karena faktor badan saya yang tidak terlalu tinggi dan besar, yang katanya masih pantas jika memakai seragam smp. -___-" pendapat yang terakhir itu, tolong diabaikan.

Saya kemudian berfikir, bahwasanya saya sudah sampai di tahap ini. Seorang wanita, berumur 20 tahun menginjak 21, mahasiswi tingkat 3, yang sudah hampir lulus, Insya Allah. Tapi sampai detik ini saya masih belum bisa melihat dengan pasti kemana arah tujuan hidup saya, dan sampai sejauh ini pencapaian apa yang telah saya dapat dalam hidup. Terus terang saya masih merasa biasa-biasa saja. Seorang mahasiswi biasa, dengan kemampuan biasa, dan prestasi biasa.
Padahal saya tidak menampik, ada keinginan dalam diri saya untuk menjadi orang di atas rata-rata. Paling tidak bisa setingkat lebih baik di atas orang lain.

Dulu saat saya masih kecil, jika melihat umur 20 tahun ke atas, kesannya pasti adalah orang dewasa yang matang dan berwibawa, punya tujuan hidup yang pasti dan yang jelas berkarakter. Tapi pada kenyataannya adalah, tidak semua orang yang berumur 20tahun demikian. Tak jarang saya menemukan orang yang berumur 20tahun, atau lebih, namun pemikirannya masih seperti anak kecil. Belum memiliki tujuan dan arah hidup yang pasti, masih suka bermain-main. Saya akui mungkin saya termasuk orang yang demikian pula. Bertingkah seperti anak kecil mungkin sesekali, tapi untuk tujuan hidup? hmm... entahlah...

Setahu saya, orang yang tidak memiliki tujuan hidup adalah orang terlabil di dunia. Karena seseorang dilahirkan untuk hiduo di dunia, yang hanya sementara, lalu apabila ia tidak memiliki tujuan hidup, "terus lo ngapain disini??" . Ibaratnya seperti seseorang yang naik bus kota tapi tidak tahu kemana tujuan ia berhenti nantinya. Maka mungkin ia hanya naik bus tersebut, mengikuti kemana ia melaju, sampai bensinnya habis, atau jika ia tidak beruntung, diturunkan dan dicaci-caci kernet karena tidak punya tujuan.

Saya mungkin akan kesulitan untuk menjawab tujuan hidup saya. Seperti makhluk Tuhan lainnya, tujuan hidup saya adalah masuk surga. Tapi selain itu selama hidup di dunia ini, saya juga ingin menjadi seseorang yang berarti, bermanfaat, hingga ketika mati nanti, nama dan karya saya masih akan terus dikenang sepanjang masa. Tapi masalahnya adalah, saya tidak tahu, mau jadi apa saya ini.

Sampai di usia 20tahun ini saja, yang saya lakukan hanyalah mengikuti arus takdir yang dituliskan Tuhan. Hal ini mulai saya lakukan ketika saya masuk kuliah pertama kali. Karena sama sekali saya tidak pernah membayangkan harus masuk dan kuliah di jurusan saya sekarang ini. Pada awalnya saya protes kepada Tuhan, tapi kemudian hari saya bersyukur atas pilihan Tuhan. Dari situ saya mulai belajar bahwa bagaimanapun rencana dan mimpi-mimpi yang kita inginkan, tetap Tuhanlah yang tahu bagian mana yang terbaik untuk kita. Oleh sebab itu, saya mulai menjalani semua hal yang Tuhan takdirkan pada saya. Saya hidup mengikuti arus, seolah-olah tanpa beban. Apapun yang Tuhan berikan saya terima. Tapi menerima segala sesuatunya ternyata bukanlah hal yang mudah. Saya melihat orang-orang disekeliling saya, betapa mereka bersemangat berusaha mengejar segala sesuatu yang mereka sebut cita-cita. Saya sendiri bahkan lupa kapan saya terakhir kali memiliki cita-cita.

Rasanya menyakitkan sekali, ketika semua orang disekelilingmu sibuk jungkir balik, rela mengorbankan ini itu untuk suatu tujuan dan cita-cita yang pasti. Sementara kamu hanya berjalan ditempat sambil melihat orang lain jatuh bangun diatas kaki mereka. Ketika orang lain jatuh satu kali, mungkin kamu akan melihatnya dengan tatapan kasian. Ketika orang tersebut jatuh dua kali, mungkin kamu akan berkata : betapa bodohnya. tapi ketika kamu melihat orang yang sama jatuh berkali-kali, pasti kalian akan berfikir, untuk apa? Untuk apa ia rela jatuh bangun, dan bersakit-sakitan. Menyesakkan ketika mengetahui bahwa ternyata ada cita-cita yang sedang ia perjuangkan disana.

Kemudian saya mulai mengorek-orek kembali kenangan-kenangan masa kecil saya. Ketika ditanya : "adek cita-citanya apa?" saya kecil (SD Kelas 4) akan spontan menjawab designer. Didorong oleh hobi menggambar perempuan, saya kemudian tertarik untuk menjadi designer, meskipun tanggapan papa cukup menyakitkan : "kamu mau jadi penjahit?". Seiring berjalannya waktu, keinginan tersebutpun menghilang, dengan semakin menurunnya kemampuan menggambar saya. Kemudian saya bercita-cita menjadi penulis, karena kesukaan saya membaca novel. Tapi karena tidak telaten menulis, maka disinilah saya, hanya menjadi penulis blog sederhana yang tidak tahu apakah ada orang diluar sana yang membaca dan mengikuti tulisan saya.

Saya juga sempat berkeinginan menjadi seorang psikolog.Tapi apa daya, jurusan psikologi masuk ke jurusan sosial. Sementara saat SMA saya di jurusan sains, walhasil saya tidak jadi mendaftar kesana. Ditambah pula dengan ketidaksetujuan eyang ibu. Kata beliau, "Itu lho dokter psikolog di RSU nggak ada pasiennya." Meskipun saya menuruti, tapi saya tidak mengamini pemikiran beliau itu. Singkat cerita, sampailah saya pada jurusan ini. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, program studi Aquaculture. Dan rasanya sudah pasti mustahil jika pada saat ini saya bercita-cita untuk menjadi dokter. Lalu bagaimana nasib cita-cita saya?

Seperti yang bisa dilihat dari tulisan saya di atas, hidup saya memang banyak dipengaruhi oleh orang-orang terdekat saya. Mulai dari orang tua, eyang, kakak, om, tante dan lainnya. Saya memang seorang family oriented. Hampir segala sesuatu yang yang saya putuskan, saya diskusikan dulu dengan keluarga. Mungkin inilah yang sedikit "menghambat" saya untuk memilih cita-cita saya. Saya sedikit menjadi agak paradoid, jika ternyata cita-cita saya tidak disetujui oleh keluarga. Juga banyak pertimbangan-pertimbangan yang harus saya ambil sebelum menentukan cita-cita saya.

Pada usia yang ke 20+ ini, saya memutuskan untuk memiliki cita-cita,
1. Lulus kuliah sebelum usia 22tahun, dengan IPK diatas 3,6
2. Melanjutkan S2 di Korea/Jepang/Perancis/Australia/Kanada
3. Menjadi dosen dalam rangka mewujudkan keinginan papa, serta menjadi pengusaha tambak yang sukses sesuai keinginan pribadi.
4. Menemukan jodoh dan menikah sebelum 25 tahun.

Jangan tertawa. Sila anggap ini adalah cita-cita orang pada umumnya. Karena memang demikian adanya. Tunggu sampai anda berkepala dua, anda pasti akan mengerti.

Saya memang ingin membuat pencapaian tinggi, tapi saya baru berani memanjat, bukan langsung meloncat terbang melesat. Saya memang ingin mencapai tujuan yang pasti, tapi belum berani langsung berlari, paling tidak saya tahu kemana arah-arah hidup ini akan akan saya jalani.

Bagi kalian para 20ers, jangan menyerah, selagi masih ada waktu, tentukan apa cita-citamu. Sebelum roda kehidupan berputar lagi, lalu anda terjepit dibawah.
SEMANGAT!
:)

February 1st, 2011
23.44 WIG
@ My 2nd Boarding House, Jepara...