Kamis, 10 Maret 2011

Cinta dalam Puisi

Saya suka membaca cerita-cerita fiksi. Baik itu berbentuk novel, roman, ataupun cerpen. Cerita cinta adalah cerita yang paling umum dan paling banyak diminati masyarakat dari pelbagai usia, dan cerita cinta jaman SMA yang biasanya paling membekas di hati. Karena kebanyakan pada saat SMA itulah cinta pertama muncul, pengalaman pertama pacaran dan sebagainya. Oleh sebab itu saya mencoba membuat suatu cerita pendek tentang cinta remaja jaman SMA. Kelemahan saya selama ini dalam membuat cerita adalah, tidak pernah selesai hinggga ending. Selalu saja putus di tengah, mengambang. Maka maafkanlah saya jika ending dari cerita ini akan lama, entah kapan bisa mengakhirinya. Semoga berkenan. Selamat membaca. Mohon komentarnya. :)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku melangkah ke depan kelas, memandang berkeliling dan mendapati semua mata teman-teman sekelasku memandangku antusias. Hanya sepasang mata yang tak tertuju padaku, dan lebih memilih memandang entah apa di atas mejanya, Sama seperti yang sudah lalu. Aku menarik nafas dalam dan menghelanya perlahan. Lalu ku mulai bacakan puisi:

Aku memendam gelisah ini berhari-hari

Memendamnya dalam kepahitan

Menguburnya dengan senyum penuh kepalsuan

Aku memendam gelisah ini berminggu-minggu

Membuatmu bertanya

Apakah gerangan yang telah terjadi padaku

Aku memendam gelisah ini berbulan – bulan

Membuatmu gerah dan bosan

Lalu kau menyerah dan pergi berpaling

Aku memendam gelisah ini bertahun – tahun

Membuatku gila dan sadarku hilang

Karna letih menunggumu kembali pulang

Tepuk tangan seisi kelas mengakhiri puisiku. Aku tersenyum tersipu sambil membungkukkan badan dan mengucap terima kasih. Saat kembali ke tempat dudukku, sekilas ku lirik seseorang yang duduk di kursi pojok, seseorang yang sepasang matanya tak mau melihat ke arahku saat di depan tadi, dan kinipun reaksi yang sama ia tunjukkan seakan tak peduli dengan riuh gemuruh tepuk tangan dari teman-teman sekelas.

Aku tidak gila tepuk tangan. Aku juga bukan banci tampil yang gila perhatian. Aku hanya ingin tahu, apakah ada yang salah denganku, ataukah ada sesuatu dariku yang membuatnya benci. Aku hanya ingin tahu, mungkinkah dia tidak suka dengan puisi-puisiku, atau tidak suka dengan caraku membacakan puisi. Tapi saat aku menyanyi di depan kelaspun dia tak mau melihatku. Seburuk-buruknya suaraku, paling tidak teman-teman yang lain masih ada yang mau mendengarkan.

“Terima kasih Vidya. Terus asah lagi kemampuanmu.”, suara Bu Muti membuyarkan lamunanku. Aku hanya tersenyum simpul dan mengangguk.

* * *

Aku senang menjadi bintang sekolah. Selalu menjadi pusat perhatian. Aku menikmati menjadi pusat perhatian banyak orang. Rasanya seperti semua orang menyayangimu. Atau mungkin sekaligus bisa saja membencimu. Tapi aku suka melakoninya. Sebenarnya aku tidak pernah meminta untuk menjadi bintang sekolah. Aku hanya melakukan apa yang ku suka, dan mengejar apa yang aku inginkan. Aku suka belajar , aku suka puisi, aku suka menyanyi, aku suka teater. Namaku selalu ada dalam daftar jika ada acara atau lomba-lomba yang berkaitan dengan bidang-bidang tersebut. Dari situlah predikat bintang sekolah melekat di bahuku. Sejajar dengan bintang sekolah lain dalam bidang olahraga, pidato, debat, tari, cheerladers, band, dan lain-lain.

Tapi ada satu yang mengganjal hatiku. Setiap orang selalu bilang bahwa mereka senang berteman denganku. Kata mereka aku cantik, ramah, berbakat, dan cerdas. Tanpa ada niat untuk sombong, aku senang dengan pujian-pujian itu. Hampir tidak ada yang membenciku. Hanya satu orang yang tidak mau berteman denganku. Orang yang sama yang tidak mau melihat aku saat aku tampil di depan.

Dewandaru Agung Pratama… laki-laki tinggi berkacamata yang pendiam. Sosok yang hanya menjadi pendengar dalam gerombolan teman-temannya. Kadang menimpali sedikit jika perlu. Selebihnya hanya mendengar dan memberi reaksi saat harus tertawa atau tersenyum. Dia bukan laki-laki yang selalu mengikuti tren baju terkini. Dia biasa saja, dia hanya pintar, itu menurut teman-temanku. Tapi menurutku dia manis, dan punya kepribadian yang unik. Aku ingin mengenalnya lebih jauh, tapi reaksi negatifnya terhadapku membuatku tak punya nyali untuk berkawan dengannya.

Aku menghela nafas. “hhuft.. ya sudahlah..” ujarku. “ha? Apanya yang sudah vid?” tanya Dani teman sebangkuku mengagetkan. “ah, bukan apa-apa kok.” Jawabku gelagapan. “Melamun terus dari tadi, itu catatan sudah tiga kali papan tulis tapi belum ada satupun yang kamu tulis.” ujar Dani. Aku kaget, ternyata aku melamun cukup lama. Sambil tersenyum nakal aku berkata, “Tenang saja, aku masih bisa pinjam catatanmu kan, Dan.” Yang diajak bicara hanya bisa melengos, “Dasar. Sudah kuduga…”

* * *

“Vid, lagi dimana kamu? Teman-teman sudah datang semua.” ujar Mas Agus dari seberang telepon. “Iya, mas. Ini aku baru sampai di pintu gerbang, padahal sudah lari-lari segala. Tadi mampir ke toko dulu, beli peralatan buat dekor.” Jawabku sedikit terengah-engah.”ya sudah, cepat ke aula. Ditunggu.”

Hari ini benar-benar hari yang sibuk. Besok adalah hari pementasan drama dari teater sekolah. Kebetulan aku yang didaulat menjadi ketua panitianya. Tak ayal, aku dibuat kalang kabut karenanya. Satu hari sebelum hari H, aku harus memeriksa keadaan dekorasi, kostum, make up, konsumsi, tiket, dan lain-lain. Belum lagi aku juga harus gladi bersih, karena aku juga turut ambil bagian dalam pentas drama ini, meskipun hanya menjadi bagian hiburan di awal pentas.

“Nah, akhirnya datang juga kamu. Ayo cepat, tinggal kamu yang belum gladi bersih. Lagian, kamu itu ketua panitia, masa kamu juga yang beli peralatan dekor? Mana seksi perlengkapan kamu?” semprot Mas Agus, setibanya aku di aula.

Segera aku berlari kecil ke atas panggung, menemui Yudha yang sudah siap disana. “Tarik nafas dulu. Baru latihan.“ bisik Yudha bijak. Aku tersenyum, mengatur nafasku pelan-pelan, lalu bersiap.

Petikkan gitar Yudha mengalun pelan, kurasakan iramanya, sambil mengira-ira kapan saat yang tepat aku akan masuk mulai membacakan puisi. Tiba-tiba, mataku menangkap seseorang yang berdiri bersandar di pintu aula, menyilangkan tangannya di dada, memandang lurus ke panggung, tepat dimana aku berdiri. Aku terpaku dan tercekat. Suaraku tersendat di tenggorokan. Suara gitar masih mengalun dan Yudhapun sudah berdehem pelan di sebelah, tandanya bahwa aku sudah harus masuk dalam irama untuk membacakan puisi. Tapi suaraku masih di ambang tenggorokan, menolak untuk keluar karena pemandangan di hadapanku. Sesorang yang tengah melihat ke arahku, yang ku tahu untuk pertama kalinya, tidak sama dengan yang sudah – sudah, karena dia ada disana melihatku.

Sebuah kekuatan baru menyelimutiku, suaraku pun berhasil keluar dari tenggorokan, maka ku mulai dengan kalimat pertama dalam puisiku, pandanglah aku seindah itu…

* * *

Usai gladi bersih dan sedikit briefing, aku bergegas untuk pulang. Sampai di depan pintu aula, Dewa sudah tidak ada disana. Kecewa, aku pun pulang dengan langkah gontai. Sambil menunggu angkot, aku membeli minum di warung kecil dekat sekolah. Tak jauh dari warung itu, aku melihat Dewa sedang duduk di kios tukang tambal ban.

“Dewa?” kataku spontan dan sedikit kaget mendengar suaraku sendiri. Si empunya nama pun menoleh, tersenyum singkat dan menjawab pelan “hei..”

Aku gelagapan, tidak siap, karena memang tidak berencana memanggil. Karena terlanjur, segera ku bayar minumanku dan menghampirinya.

“Bannya bocor?” tanyaku bodoh. Sambil dalam hati merutuki pertanyaan bodohku itu. “Iya, kena paku.” jawab Dewa. “ooh…” cuma itu yang keluar dari mulutku. Hening sejenak. Lalu dengan nekat aku bertanya, “Aku tadi lihat kamu di aula, menonton gladi bersih. Tumben?” Tanpa melihat ke arahku Dewa menjawab, “Kebetulan saja. Daripada bosan menunggu ban selesai di tambal. Tadi antri banyak banget. Jadinya aku jalan-jalan ke sekolah. Waktu lewat aula, aku lihat kamu sedang dipanggung. Iseng saja ingin lihat.” Aku terkesima dan tak bisa mengeluarkan kata apa-apa. Itu adalah kalimat-kalimat terpanjang yang pernah aku dengar dari mulutnya.

Melihatku terdiam terkesima seperti itu Dewa pun heran dan bertanya, “Kenapa?” “eh,,oh, emm.. tidak kenapa-kenapa kok. Aku kira kamu tidak suka puisi dan sebagainya.” Jawabku. “Tidak juga. Kadang-kadang aku juga suka baca Kahlil Gibran atau Rabindanath Tagore.” kata Dewa sambil terus memperhatikan tukang tambal ban menyelesaikan pekerjaannya. Kalau begitu, dia pasti tidak suka padaku, kataku dalam hati. Dadaku tiba-tiba agak sesak menerima kenyataan itu. Tapi sudahlah, aku juga tidak bisa memaksa dia untuk menyukai aku.

“Aku pulang dulu ya” kataku sambil melangkahkan kaki untuk pulang tanpa menoleh ke arah Dewa. Tiba-tiba, tanganku ditarik olehnya, aku menoleh, tanpa memalingkan muka dari motornya dia berkata, “Aku antar. Sudah mau maghrib. Bahaya.” Aku memandangnya lekat-lekat tak percaya, tak tahu harus menjawab apa. Dia menoleh kepadaku dengan tampang heran, “Kenapa? Takut aku culik?” “oh, eh, ah, kamu ini jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku tahu kok kamu tidak akan menculikku.” Jawabku dengan muka memerah karena malu.

Sepuluh menit kemudian aku sudah duduk di jok belakang motor Dewa, dan kami pun melaju membelah jalanan maghrib menuju rumahku. Sepanjang perjalanan kami hanya diam, tak sepatah katapun terlontar dari bibirnya juga bibirku. Kikuk memang terus-terusan diam seperti itu, tapi aku terlalu gengsi untuk memulai pembicaraan. Dia bahkan tidak menanyakan alamat rumahku. Yang aku tahu setengah jam kemudian kami sudah berhenti di halaman depan rumahku.

Sambil turun dari motor aku menawarkan, “Mampir?” agak berbasa-basi untuk menjaga kesopanan. “Boleh..” jawab Dewa sambil melepas helmnya. Aku terkesiap dengan jawabannya, aku pikir dia akan menolak. Dewa menatapku, “Kenapa? Aku hanya ingin numpang sholat. Kalau aku pulang sekarang, sampai rumah sudah isya. Boleh tidak?” Gelagapan aku menjawab, “eh, boleh kok boleh… Silakan… Silakan… Tidak usah malu-malu.” sambil menunjukkan jalan masuk ke rumahku.

- B E R S A M B U N G -

Selasa, 08 Maret 2011

Inginku Bukan Tawaran

Keinginan adalah sumber penderitaan
tempatnya di dalam pikiran
tujuan bukan utama
yang utama adalah prosesnya
(Iwan Fals)

Jika keinginan adalah derita
Maka biarkan aku lebur dalam derita itu
Karena keinginanku tak bisa lagi ditawar
tidak dengan bujuk rayu
atau iming-iming berhadiah

Jika keinginan bersumber dari pikiran
maka biarkan pikiranku terus hidup seperti ini
Karena keinginanku tak bisa lagi ditawar
tidak dengan bujuk rayu
atau iming-iming berhadiah

Keinginanku adalah kamu
keinginan adalah sumber penderitaan
kamu adalah sumber penderitaanku
Keinginan ada di dalam pikiran
kamu selalu ada di dalam pikiranku

Jika keinginan tidak mencari tujuan
maka biarkan aku berjalan tak tentu arah
karena keinginanku tak bisa lagi ditawar
tidak peduli dengan rintangan
atau proses yang membuat lelah


19 Agustus 2009 - - 9.52 p.m.